Rabu, 21 Maret 2012

Kebahagiaan itu Pilihan, Bukan Anugrah


Seorang pemuda hendak berangkat kerja di pagi hari. Dia lalu memanggil taksi, dan naik.

"Selamat pagi, Pak," dia menyapa sang sopir taksi terlebih dulu. "Pagi yang cerah bukan?" Sang sopir tersenyum melihat keceriaan penumpangnya. Dengan senang hati, dia pum melajukan taksinya.


Sesampainya di tempat tujuan, pemuda itu membayar dengan selembar Rp 50 ribu untuk argo yang hampir Rp 45 ribu.

"Kembaliannya buat Bapak saja. Selamat bekerja, Pak!" kata pemuda sambil tersenyum.

"Wah, terima kasih, Mas," jawab sopir taxi dengan penuh syukur.

Dalam hati sopir itu membatin, "Wah.. aku bisa sarapan dulu, nih."

Dia pun menuju ke sebuah warung.

Sesampai di warung, penjual menyambutnya dengan ramah. "Biasa! Pak?" tanya si mbok warung.

"Iya biasa. Nasi sayur. Tapi pagi ini tambahkan sepotong ayam," jawab sopir dengan tersenyum.

Ketika membayar nasi, di tambahkannya seribu rupiah. "Buat jajan anaknya si mbok," begitu katanya.

Dengan tambahan uang jajan seribu, pagi itu anak si mbok berangkat ke sekolah dengan senyum lebih lebar.

Ia bisa membeli dua buah roti pagi itu dan diberikannya pada temannya yang tidak punya bekal.

Begitulah. Cerita bisa berlanjut. Bergulir seperti bola salju.

Pak sopir bisa lebih bahagia hari itu. Begitu juga keluarga si mbok. Teman-teman si anak. Keluarga mereka. Semua tertular kebahagiaan.

Kebahagiaan, seperti juga kesusahan, bisa menular kepada siapa saja di sekitar kita.

Kebahagiaan adalah sebuah pilihan, bukan anugerah. Kita yang menentukan bagaimana kita menghadapi keseharian kita.

Siapkah kita menularkan kebahagiaan hari ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar